Selasa, 23 Juni 2009

Cerita Cinta Apel dan Jeruk


Latar: Sebuah apel dan jeruk diatas piring buah, diatas meja. Biasanya pemilik rumah memakan buahnya tiap hari saat sarapan atau sesudah makan siang, tapi kali ini pemilik rumah buru-buru pergi dan belum kembali hampir 2 hari. Bungkus rokok Marlboro milik pemilik rumah tergeletak di dekat piring tak jauh dari setengah gelas kopi basi yang tak dihabiskan pemilik rumah sebelum pergi lama kali itu.

Apel:

Jeruk, betulkah apa yang kamu katakan tadi malam? Tepat sebelum kita berdua terlelap.

Jeruk:

Menurutmu?

Apel:

Jangan main-main, aku tidak sanggup percaya. Apakah benar yang kamu katakan itu, atau sekedar iseng karena bosan menunggu perjalanan nasib selanjutnya?

Jeruk:

Menurutmu?

Apel:

Jeruk, jangan suka berteka-teki, bermain dengan kata. Aku hanya bertanya, apakah benar yang kamu katakan tadi malam?

Jeruk:

Kalau benar? Lalu kamu bagaimana? Apa yang kamu rasa? Percaya saja.

Apel:

Aku berharap semuanya betul, adanya memang begitu.

Jeruk:

Lalu, percaya saja.

Apel:

Tapi Jeruk, aku adalah Apel, bukan Jeruk. Dalam kamusku tak bisa aku hanya diyakinkan dengan kata.

Jeruk:

Lantas, sebagai seorang Jeruk, apa yang bisa aku lakukan untuk meyakinkanmu? Jangan permasalahkan perbedaan kita, karena itu memang sudah adanya, gunakan hatimu.

Apel:

Bisakah kau katakan sekali lagi?

Jeruk:

Tak cukupkah yang tadi malam itu untuk mewakili?

Apel:

Apa sulitnya mengulangi?

Jeruk:

Bukan soal sulit, haruskah aku ulangi?

Apel:

Buatlah aku bahagia, dengan mengulanginya.

Jeruk:

Tidak bahagiakah kamu sekarang? Aku masih disini, kamu tahu itu.

Apel:

Aku akan lebih bahagia ketika kamu meyakinkanku dengan perbuatan dan kata. Tak cukup kalau tidak dikombinasikan. Katakan dan tunjukkan, kenapa begitu sulit?

Jeruk:

Bukan masalah sulit Apel. Aku tak pandai mengumbar kata. Cukup sekali aku katakan, dengan sepenuh hatiku. Percaya dan rasakan, aku mohon.

Apel:

Mm…

Hening, keduanya terdiam. Setelah beberapa saat berlalu, Jeruk menatap Apel dan mengecup keningnya. Tangan kanannya merangkul Apel dan kepalanya direbahkan kepundak Apel. Mata Jeruk terpejam dan senyum terkulum diwajahnya yang jingga cerah.

Apel:

Bagaimana mungkin sebuah Jeruk sepertimu mencintaiku, sebuah Apel. Kenapa tidak kamu mencintai Jeruk lain?

Jeruk:

Seandainya aku tahu jawabannya mengapa, tentu aku akan jawab pertanyaanmu ini. Mungkin tidak semua pertanyaan memiliki jawaban.

Apel:

Jawab saja, buat aku bahagia.

Jeruk:

Haruskah aku menjawab dengan kata-kata ketika apa yang dirasakan oleh hatiku sama sekali tidak mampu terwakilkan dalam kata? Cinta begitu multidimensi, penuh, dan tak berbentuk atau terbatas. Kalau aku berusaha menjelaskannya padamu, cintaku tak lagi sempurna Apel…maukah kau cinta yang tak sempurna?

Apel:

Mungkin tidak. Aku ingin bahagia Jeruk…Itu saja.

Jeruk:

Aku pun ingin kebahagiaanmu. Pun kebahagiaan kita. Nyatanya dengan tidak mengatakan apapun dan menghayati adamu disisiku sudah begitu membuatku merasa bahagia. Tidakkah kamu rasa?

Apel:

Aku tahu, tapi bagaimana dengan nanti? Ya, saat ini kita bisa bersama. Entah kenapa pemilik rumah pergi begitu lama yang syukurnya memberi kesempatan untuk kita bisa bersama lebih lama. Lalu bagaimana jika Dia kembali, dan akhirnya waktu perpisahan itu tiba juga untuk kita? Memikirkannya saja aku tak sanggup Jeruk…seketika aku jadi begitu sedihnya.

Jeruk:

Bahagialah dengan apa yang kita punya sekarang.

Apel:

Jadi kamu tidak khawatir? Betulkah kau mencintaiku? Ketika begitu mudahnya kamu menghadapi perpisahan itu?

Jeruk:

Kita tak pernah tahu akhir Apelku. Entah kemudian Dia kembali, menggigitmu lebih dulu dihadapanku, mencabik kulit kasarku dan memerasku tanpa ijin padamu, mengupasmu dan memotongmu, jadikan kita berdua salad buah, atau entah Dia mencampur kita berdua dalam jus segar sarapanNya. Entah…atau mungkin ada suratan lain. Mungkin saja Dia tak pernah kembali dan membiarkan kita berdua bersama di atas piring ini sampai habis air sari kita, lalu muncul kerut dan habislah nafas kita untuk bertahan. Tak penting akhirnya bagaimana, yang jadikan hidup ini bermakna adalah apa yang bisa kita miliki sekarang, kebersamaan kita yang nyata ini. Cintaku lepas dari kekhawatiran akan masa depan.

Apel:

Aku begitu cemasnya. Aku takut kehilanganmu, bahkan sering terpikir olehku bagaimana jika Pemilik rumah menempatkan jeruk lain, atau apel lain untuk menggantikanku. Apakah kamu masih akan tetap mencintaiku?

Jeruk:

Begitu banyaknya pertanyaan dikepalamu itu. Itu mengapa aku mencintaimu, sepertinya tak ada jeruk yang begitu unik sepertimu, hahaha…

Apel:

Kenapa mentertawakanku? Jadi kau membandingkanku dengan jeruk-jeruk lain yang sudah sebelumnya kau temui? Jelaskan, mengapa kau mencintaiku?

Jeruk:

Baik, tapi tak perlu kau lepas tanganku begitu, mari mendekatlah, buatku nyaman dengan halus kulitmu itu.

Apel:

Merayu kamu…jelaskan dulu.

Jeruk:

Apel, sepertinya kita kembali lagi ke pertanyaan awalmu tadi. Aku jujur tidak mengerti kenapa. Aku pernah bersama-sama begitu lama dengan sebuah jeruk sejak di pohon. Dia tumbuh di dahan tak jauh dari dahanku. Kami dipetik bersama dan dijual ke penadah yang membawa kami ke pasar. Tak lama, kami dipindah lagi bersama jeruk-jeruk lain ke supermarket besar. Aku tak mengerti mengapa dia selalu bisa bersama aku, dimanapun. Aku paham bahwa kami dekat, kami berbincang dan menghabiskan begitu banyak pengalaman bersama. Sepertinya bukan cinta, aku tak tahu apa, mungkin kedekatan itu mengaburkan rasa yang sebenarnya. Tapi rasanya tak akan pernah sama dengan 2 hari terakhir ini bersamamu. Aku merasa kamu sudah ada begitu lama di hidupku, senyummu itu seperti tidak asing dan begitu mencerahkan. Rasa yang tak bisa aku jelaskan, tak bisa pula aku rasakan di jeruk itu dan aku alami dimanapun…

Apel:

Lalu…(tersenyum dan kulit merahnya semakin merah karena haru)

Jeruk:

Aku mencintai halus kulit cerahmu yang warnanya berbeda dengan kulitku. Aku mencintaimu dengan sifatmu yang begitu gusar dan tak sabar, juga untuk celoteh nakalmu yang menurutku begitu cerdas. Aku begitu bahagia dan penuh saat kulit ini bersentuhan, saat kamu menciumku dan saat kamu hangatkan 2 malam ini. Bersamamu aku tak menginginkan lagi hal lain, hanya ingin menikmati saja.

Apel:

Tapi aku apel, bukan jeruk…

Jeruk:

Tak perlu kata-kata itu. Lalu mengapa kamu mencintaiku? Bukan mencintai apel lain? Tidakkah kamu berpikir bahwa akupun bisa memiliki semua kekhawatiran yang sama denganmu?

Apel:

Kamu tidak perlu gusar. Sepertinya sejak awal lebih banyak aku yang mengatakan aku mencintaimu. Aku mengatakannya lebih banyak daripada kamu… Kamu sadar tidak?

Jeruk:

Hahaha… Kamu tidak menjawab pertanyaanku. Lagipula, kamu menghitung banyaknya kata-kata cinta yang aku ucapkan? Aku bisa saja berbohong padamu hanya untuk membuatmu tak gusar lagi, tapi perlukah aku berbuat seperti itu? Aku tak perlu mengatakannya, cukuplah kamu rasa.

Apel:

Perlu bagiku jerukku yang gagah. Seandainya kamu tahu betapa bahagianya seorang apel ketika kekasihnya mengatakan cinta.

Jeruk:

Aku akan mengatakannya disaat yang tepat.

Apel:

Tepat buat siapa?

Jeruk:

Sebelum mengajukan pertanyaan, jawablah dulu pertanyaanku manis.

Apel:

Darimana aku harus memulai… Aku mencintaimu karena sejak bersamamu aku tak pernah merasa khawatir. Kamu membuat segala sesuatu jadi tenteram. Tidak ada pertanyaan yang tak bisa kau jawab. Aku menemu labuhan gundah dan tanya yang tak pernah berhenti bergemuruh. Sabar sifat dan kerasnya genggaman tanganmu adalah pertentangan yang memaksaku rindu. Kulitmu yang jingga cerah dan kasar itu berlawanan dengan manis dan segarnya isi jiwamu. Cium dan kata cinta yang tak mudah kau berikan membuatku resah lagi rindu. Sikap dan perhatianmu yang dingin tapi sejuk itu begitu menusuk tapi diinginkan.

Jeruk:

Aku tersanjung (mengeratkan genggamannya).

Apel:

Aku mencintaimu…

Jeruk:

Bagaimana dengan apel lain?

Apel:

Kenapa kamu tidak menjawab kata cintaku?

Jeruk:

Jawablah dulu…

Apel:

Hh… Aku pernah mencintai apel lain Jerukku. Kami bertemu di keranjang sebelum kami dijual ke grosiran. Kami ternyata didatangkan dari ladang yang sama. Namun, cintanya tak mampu membuatku penuh serasa ini. Aku pun bertemu apel-apel lain sebelumnya. Tak mungkin rasanya aku membandingkan mereka denganmu. Mereka bukan kamu, itu saja.

Jeruk:

Apabila kamu bertemu apel sepertiku? Akankah kamu berpaling?

Apel:

Tetap saja bukan kamu.

Jeruk:

Baik, apabila ada jeruk yang sepertiku, bagaimana kemudian?

Apel:

Kenyataannya tidak ada.

Jeruk:

Mungkin belum, lalu bagaimana? Kamu akan melupakanku dan bisa begitu saja mencintainya?

Apel:

Hei…kulitmu mengerut, kamu gusar sayang? Tak perlu kamu risau. Seperti katamu tadi, cukup kamu rasa. Adakah kiranya kamu rasa keraguan di kata-kataku?

Jeruk:

Apabila ada apel yang lebih baik, mungkinkah kamu berpaling? Jika dia lebih baik dariku mengapa tidak? Aku ingin yang terbaik untukmu.

Apel:

Pertanyaan menjebak. Kamu yang terbaik untukku. Aku merasa penuh dan itu sudah cukup untukku.

Jeruk:

Kamu tidak pernah tahu.

Apel:

Ada begitu banyak apel, begitu banyak jeruk di dunia ini. Tapi kamulah jeruk yang kupilih, karena kamu adalah kamu. Bukan masalah yang terbaik diantara semua jeruk, tapi kamu adalah yang terbaik untukku.

Bunyi pintu berdebam mengejutkan apel dan jeruk. Pemilik rumah berlari kecil memasuki ruangan rumah yang kecil. Dia memasuki kamar dan keluar dengan tas penuh pakaian. Telpon selular warna ungunya berbunyi nyaring.

Pemilik rumah:

Halo, hai jeng…oke gue dah siap-siapin pakaian untuk seminggu. Ya, gue bakal cepet, ketemu di puncak. Hati-hati juga dear!

Pintu ditutup kembali. Apel dan jeruk saling berpandang dan tersenyum.

Jeruk:

Apel, …

Pintu terbuka kembali. Pemilik rumah berlari tergopoh-gopoh dan mengambil apel dari piring. Apel menangis tak mampu berteriak, tangannya menggapai-gapai jeruk. Jeruk berteriak dan menangis, tak tahu apa mesti diperbuat. Doa saja terucap dari dua buah terpisah akhirnya jarak dan nasib. Pintu kembali berdebam.

***

Janganlah berhenti berharap akan akhir bahagia cerita ini. Cerita cinta seyogyanya berakhir bahagia ketika kita percaya. Masa yang tak tergantikan itu telah memberi makna untuk hidup berdua. Walau jeruk berkata akhir tak lagi penting karena yang tentukan adalah kuasa yang lebih hakiki, keajaiban masih mungkin bila percaya akhir adalah bagian tak boleh dilewatkan dalam perjalanan doa dan asa.

***
Jeruk : Seandainya aku mengatakannya sedari tadi, seandainya aku mampu mengatakannya. Kehampaan adalah pembunuh jiwa yang paling bahaya. Aku serasa tak sanggup bertahan. Melewatkan hari dengan hati pincang buat merana. Kembalikan dia padaku atau akhiri saja penantianku ini, oh yang berkuasa atas hidup insan sepertiku, buah tak berarti yang hanya bisa menyerah… Pasrah…

Lima hari berlalu, hari-hari panjang yang seperti tanpa ujung. Kulit jeruk mengerut, tak segar lagi, warnanya berubah kisut. Badannya terkulai lemas tanpa siraman semangat jiwa.


Pintu terbuka, pemilik rumah berjalan menuju meja. Dengan lelah dia meletakkan tas besar penuh pakaian kotor di lantai, kunci mobil, dan juga tas kulit kecil dibahunya ke atas meja. Dia mencari-cari telpon selularnya di dalam tas.

Pemilik rumah : Yah… gue lupa makan apel yang gue bawa dari rumah kemaren, padahal udah bela-belain dibawa. Udah kisut gini. Jeruk di meja ini juga. Udahlah gue buang ke tempat sampah. Bego banget sih, kenapa kemaren ngga dimasukkin kulkas aja.


Pemilik rumah meletakkan apel yang lemas dan tak lagi cerah diatas piring sambil berjalan menuju dapur. Bersentuhan kulit apel dan jeruk yang sama-sama tak lagi cerah. Tak terperi bahagia merasuk dalam jiwa dan raga sepasang kekasih terpisah jarak. Berpelukan mereka sebagai pengobat rindu yang begitu lama. Bahagia tak lagi terungkap dalam kata. Bahagia adalah titik akhir dari cerita cinta ini.

***


Jumat, 29 Mei 2009

Sebuah Cerita Tentang Dunia Bejana

Dia selalu percaya dunia ini seperti sebuah bejana akuarium bulat di sudut kamar kosnya yang agak pengap. Andaikan saja kita melihat dua ekor ikan mas koki berenang-renang dari sudut meja rias, kita bisa melihat ikan terlihat lebih cerah kulitnya karena pantulan sinar lampu lima watt oranye di dekat pintu masuk. Pemandangan berbeda akan tampak kalau kita manggut-manggut meratapi nasib dua ikan kurus-kurus itu dari sudut sebaliknya. Kulit dua sejoli air ini seperti agak matang dibakar diatas tungku dan pemandangan jadi lebih suram ketika latar belakang bejana itu adalah pantulan wajah pemilik bejana lengkap dengan kaca rias lapuk dan tempat tidur yang tak pernah rapi.
Hidup menurutnya adalah perspektif saja. Bagaimana kita memandang segala hal, atau mungkin lebih tepatnya dari sudut mana kita memandangnya.

Pemilik bejana adalah seorang perempuan berumur duduk sendiri dalam hidupnya yang sendiri. Dia duduk di depan bejana akuarium yang dihadiahkan keponakan saat ulang tahunnya yang ketiga puluh lima. Berarti sudah enam tahun bejana itu menghiasi kamarnya. Kalau dua ikan penghuninya baru berdomisili tetap disana kurang lebih enam bulan terakhir. Penghuni-penghuni sebelumnya ada yang sudah mati karena sesak nafas, kelaparan karena lupa diberi makan, atau ada juga yang berakhir di wajan pemilik bejana karena waktu itu tanggal tua dan pemilik bejana sangatlah kelaparan tapi tidak punya uang untuk membeli lauk nasinya yang hampir basi.

Sehari-hari selepas kerja sebagai penjaga toilet umum di stasiun kereta, dia akan duduk di depan bejana bulat penghias kamarnya yang sepi. Tidak seperti tetangga yang mampu menonton televisi, pemilik bejana hanya mampu menatap bejana bulat dan merasa cukup bahagia dengan pertunjukkannya yang monoton. Kalau sudah larut dan mulai bejana itu seolah tak lagi bulat karena mata pemilik telah berair dan kepalanya mulai pusing, barulah pertunjukan bejana bulat berpenghuni dua ikan mas koki itu berakhir. Diakhiri doa dari pemilik untuk semua kebaikan Tuhan untuk kedua matanya yang masih mampu memandangi bejana bulat, untuk rejeki yang masih ada untuk perutnya dan perut dua ikannya, sehingga mereka tak lagi harus mati, dan juga untuk kamar kecilnya yang pengap tapi teduh itu.
Begitu setiap harinya hidup pemilik bejana dan bejananya. Dan ternyata hidup tak lebih dari itu buatnya. Kalau bosan, cukuplah berpindah sudut duduk, dan terlihatlah dunia dengan cara yang berbeda.

(Mungkin masih akan ada kelanjutan, tapi biar sekelumit saja dulu. Rani, Depok, 150409)

Sabtu, 04 April 2009

Meong Meong Dong Alih Je Bikule

Meong-meong dong alih je bikule
Bikul gede-gede, buin mokoh-mokoh
Kereng pesan ngerusuhin......
Tadi pagi saya diminta tutor-tutor ISCO Depok untuk mengajar anak-anak kelas 1 menyanyi lagu daerah. Mereka minta saya mengajar lagu daerah Bali yang tidak susah tapi enak didengar. Saya jadi ingat masa kecil nyanyi lagu Meong-meong dengan teman-teman, atau dengar lagu ini didendangkan orang tua waktu leyeh-leyeh ngantuk. Waktu saya tuliskan lirik lagu ini, saya seperti menulis satu-satu memori masa kecil.
Lagu ini lalu dinyanyikan bareng-bareng dengan semua tutor. Mereka bahkan rekam suara saya supaya tidak lupa nadanya. Kata Kak Nur, supaya nanti bisa diajarkan ke anak-anak lain. Saya jadi terharu sekali. Menyadari bahwa singkatnya lagu meong-meong itu sudah menjadi perwakilan dari keragaman dalam sanggar kami yang kecil.
Tidak bisa saya sembuyikan senyum saya ketika Dewi yang logat Sundanya sangat kental menyanyikan lagu ini. Ketika mengatakan je dia malah melafalkannya dengan jeung.
Pertemuan kami hari ini diakhiri dengan doa. Dan lirik lagu meong meong sudah dicatat dalam buku tulis masing-masing anak. Minggu depan Kak Nur mau tes mereka satu-satu apa mereka sudah hafal.... :-)

Jumat, 03 April 2009

Seekor anjing menyeberang jalan


Pagi ini ketika saya berdiri di pinggir jalan

Di sebelah saya ada anjing ingin menyeberang

Ingin melintas karena mungkin rumahnya di sisi lain jalan

Anjing itu hitam, kecil, dengan ekor tegang

Menengok kanan kiri, kaki kirinya maju ke depan

Bingung dia kapan jalanan sepi kendaraan

Lalu lalang mobil, motor, metro mini, sepeda, tak henti

Semakin tinggi ekor anjing hitam berdiri

Kepalanya tengak tengok tak henti

Akhirnya, kaki kanan pun melangkah

Lari-lari kecil kakinya cemas

Kasihan saya melihatnya hampir tertabrak angkot 02 biru bulat

Untung selamat

Anjing hitam, kecil, ekornya lunglai

Sampai akhirnya dia di ujung jalan

Setelah lamanya pertimbangan, panjangnya perjuangan

Untung saja dia tidak tergilas atau tertabrak

Anjing hitam, kecil selamat sampai tujuan

Jakarta, 030409

Rabu, 25 Februari 2009

The Paradox of Choice; Why More is Less: Bagaimana untuk menjadi BAHAGIA


Setelah lama saya tidak pernah lagi menulis bahkan membuka blog ini, sepertinya perlu dan ada banyak waktu untuk saya menuliskan tulisan walau tak banyak.

Beberapa waktu belakangan, saya tertarik membaca sebuah buku berjudul The Paradox of Choice; Why more is less karya Barry Schwartz. Pemaparan Schwartz membuat saya tergelitik terutama mengenai pendapatnya mengenai perbandingan terbalik antara semakin banyaknya pilihan yang tersedia untuk manusia dengan semakin kurangnya kebahagiaan manusia karenanya. Tentu saja hal ini membuat saya penasaran. Bukankah seharusnya manusia akan lebih bahagia ataupun puas apabila memiliki lebih banyak pilihan dalam hidupnya?

Penulis memaparkan berbagai alasan yang setelah saya pahami sangat masuk akal. Semakin banyak pilihan menyebabkan manusia semakin bingung menentukan pilihan mana yang terbaik. Proses observasi, menimbang, dan menilai seluruh aspek dari pilihan yang harus dipilah semakin bertambah dan kecenderungan manusia kemudian menjadi sangat kecewa ketika menyadari bahwa hasil pilihannya ternyata bukanlah pilihan terbaik. Itu mengapa kebanyakan orang memilih untuk membeli barang-barang yang memberikan jaminan uang kembali ataupun penukaran barang untuk menghindari kekecewaan yang besar akibat salah memilih sebuah produk.

Tentu saja perihal pilih memilih ini kemudian menjadi lebih sulit dan kompleks ketika manusia berhadapan dengan piihan yang tidak menyediakan garansi uang kembali, seperti pernikahan misalnya. Sepatutnya perkawinan adalah sebuah pilihan seumur hidup dan untuk mengakhiri ataupun menyelesaikannya tentu saja tidak akan semudah melakukan transaksi dagang biasa.

Yang menurut saya menarik dari buku ini adalah bagaimana penulis mengajak saya berkaca dan mengingatkan saya untuk mengurangi keinginan saya untuk menjadi seorang, yang disebutnya, maximizer. Kalau saya ingin lebih bahagia dalam hidup, menurutnya perlu untuk mengubah diri untuk menjadi seorang, satisficer. Seorang yang selalu puas tentu saja memiliki standard tertentu terhadap segala hal, seperti standar dalam memilih pakaian, sekolah, jenis pekerjaan, ataupun pasangan hidup. Namun berbeda dengan seorang maximizer, satisficer akan merasa cukup ketika sudah menemukan yang sesuai dengan standar yang dibuatnya sendiri. Satisficer akan merasa bahagia meskipun ketika menemukan fakta dan berbagai pembuktian bahwa ada pilihan lebih baik di luar sana. Ketidak bahagiaan seorang maximizer menurut penulis adalah karena orang dengan tipe ini menghabiskan terlalu banyak waktu dan energi untuk menentukan pilihan yang terbaik dan mereka adalah orang yang tidak bahagia ketika ternyata mereka mengetahui bahwa pilihan mereka tersebut ternyata bukan pilihan yang terbaik. Seorang maximizer yang sedang mencari baju pilihan tidak akan berhenti di satu gerai meskipun sudah menemukan kualitas barang yang diinginkannya. Tipe orang ini akan terus mencari di gerai lain untuk melihat harga yang lebih kompetitif, bahan yang lebih nyaman, atau mungkin warna yang lebih menarik.

Dia juga menyoroti adanya perbandingan sosial, kompetisi akan status, dan tingginya pengharapan akan sesuatu cenderung membuat manusia sangat berhati-hati dan kemudian cenderung tidak bahagia akan banyaknya pilihan dan kesalahan dalam memilih pilihan yang tepat.

Lalu bagaimana untuk menjadi seorang yang bahagia ditengah semakin banyaknya pilihan yang tersedia saat ini? Sebenarnya ada beberapa poin yang penulis sodorkan, seperti: memilih ketika benar-benar harus memilih, mencoba menjadi orang yang puas dan mengurangi sifat ingin mendapatkan yang maksimal, membuat keputusan-keputusan yang tidak dapat ditarik kembali, mengurangi penyesalan, mengontrol pengharapan, membatasi perbandingan, dan menghargai adanya batas. Diantara semua cara untuk dapat mengatasi kekecewaan dan membuat seseorang lebih bahagia ini, saya sangat tertarik dengan saran penulis untuk melatih sikap bersyukur. Saya sering sekali mendengar saran ini dalam berbagai literatur mengenai motivasi dan saya tidak menyangka bahwa penulis akan memasukkan poin ini dalam pemaparannya.

Sikap bersyukur tidak dapat muncul secara alamiah pada setiap manusia, itu mengapa rasa syukur harus ditumbuhkan dan tentu saja harus dilatih. Semakin sering manusia melatih dirinya untuk bersyukur untuk hal-hal yang dia miliki dan bukan berfokus pada hal-hal yang tidak ia miliki, ia kemudian akan semakin bahagia. Teori ini saat ini sedang saya pelajari dan percaya atau tidak, saya semakin merasa bahagia akan keadaan saya walaupun kalau saya ingin berfokus pada hal-hal yang tidak saya miliki, tentu saja banyak yang bisa saya tulis. Kaitannya dengan beragamnya pilihan dalam hidup, sikap ini boleh jadi dapat dijadikan senjata untuk selalu merasa cukup, menghargai sebuah pilihan, dan merasa bersyukur untuk pilihan yang sudah dipilih.

dan bagaimana memilih CALEG dan CAPRES yang tepat? Sebelum benar-benar menyelesaikan tulisan jahil ini, saya sempat berpikir, kira-kira bagaimana masyarakat kita mampu memilih perwakilan-perwakilan yang tepat untuk duduk di legislatif atau menjadi Presiden dan Wakil Presiden di tengah banyaknya pilihan yang tersedia saat ini? Kalau pun misalnya sudah terpilih, dan kalau misalnya, misalnya saja pilihannya ternyata salah, bagaimana caranya masyarakat untuk tetap merasa bahagia?

Untuk memasuki ranah ini sepertinya saya merasa tidak mampu dan mungkin terlalu bodoh untuk menguraikannya dalam paparan ilmiah. Yang jelas sampai saat ini saya belum menentukan pilihan saya dan agak sedikit bingung dan takut kalau-kalau salah pilih karena ini adalah masalah besar untuk banyak orang. Kan satu suara besar artinya? Semoga sampai waktu yang ditentukan, saya dan juga semua masyarakat Indonesia mampu membuat sebuah pilihan yang bijak dan kemudian menjadi bahagia akan pilihannya masing-masing.

Buat teman-teman yang kebetulan sedang lewat dan membaca tulisan jahil saya ini mungkin mau member I komentar atau mungkin berbagi pengalaman? Kalau soal bukunya, saya rekomendasikan buku ini karena informatif dan cukup menggambarkan kondisi kita sekarang ini.

Depok, Februari 2009.


Selasa, 16 September 2008

Perahu Kecil di Pesisir Pulau Sop



Lihatlah perahu kecil bermain-main di air. Tak peduli panas ia tersenyum sumringah. Uap garam tak buatnya jengah.

Perahu kecil saat air surut, dicarinya kerang-kerang melimpah di pesisir pantai.

Aku bertemu Luis di bawah matahari redup tertutup awan. Luis, perahu kecil kehidupan yang sedang berjalan-jalan patah-patah mencari kerang. Sapaku tak dibalasnya dengan kata. Hanya senyum, kadang wajah herannya melihat wajah asing di pulaunya yang tenang. Senyum itu mengembang setelah orang asing ini merajuk memohon sapa. Senyum tulusnya itu hanya buat aku.


Luis, kenapa kamu tidak sekolah?

Tidak sempat aku menanyakan hal ini padamu. Setelah jauh baru sadarku kamu tidak berseragam seperti anak-anak lain di kampungmu. Masihkah terlalu kecil umurmu, atau ada hal hambat langkahmu tuntut ilmu?
Betul Luis, aku menyesal, lupa aku bertanya padamu. Sudahkah kau kecap rasa buku, sudahkah tanganmu pegang rapuh pensil menulis di atas lembaran kertas? Atau hanya pasir dan kerang temanmu sepanjang waktu?
Pulaumu kecil, indah nian, pun sejuk. Jaraknya tak jauh sebetulnya dari pusat kota Sorong. Hanya 30 menit kalau ada motor laut yang bawa dari pelabuhan. Pasirnya putih itu menarik hati ingin berdamai dari galau bumi. Betah berlama-lama aku mengunjungi pulaumu perahu kecil, tapi waktu selalu jadi batas buat manusia. Tak mungkin berlama-lama.
Walau tak jauh dari hiruk pikuk dunia tak ramah, pulaumu seperti tak peduli akan cepatnya dunia di seberangmu. Pulaumu seperti kamu, melangkah patah-patah, nikmati pasir putih halus, rasa garam nyeri sedikit, dan pemandangan lucu kerang-kerang kecil menyembul di balik pasir.
Harapku karena kau masih terlalu kecil kau masih bermain di surut pasir. Ingatkan ibumu jangan surutkan semangatmu pergi mencari ilmu. Pulau kecilmu indah, hanya tak inginkah kau liat dunia luas terbentang di seberang?
Perahu kecil surut di pesisir. Semoga suatu saat nanti aku bisa datang lagi, mampir....
(Terimakasih Bapak Manik buat fotonya. Hanya dengan hati kita melihat makna)

KASIH

Hanya kasih buat dunia dingin begini nyaman ditinggali
Karena kasih menghangati
Beku bumi dan bekunya hati
Lalu kasih seperti bara api terjang dingin itu terlalu

Kasih lama jadi senjata manusia berada
Buat hidup jadi perjalanan berarti tak berat dijalani
Langkah-langkah berat jadi ringan diayunkan
Karena kasih menyelimuti hati insani

Kasih kau rasa dalam hatimu
Kasih itupun menyelimuti hatiku
Saat-saat menyatukan hati
Sepertinya kasih penuhi diri

Kasih yang berbentuk itu sekejap menghilang
Kala manusia marah tak dinyana
Saat angkara upaya usir kasih
Alihkan kuasa dengan kudeta

Namun kasih itu tak mungkin terusir
Lubuk hati adalah kediaman darinya berasal
Kasih itu hanya kan bersembunyi pergi
Untuknya nanti kuasai kembali manusia saat sadar akan jati diri

Malam penuh kasih, 241207
Bersamamu aku berdoa menghadapNya.