Selasa, 23 Juni 2009

Cerita Cinta Apel dan Jeruk


Latar: Sebuah apel dan jeruk diatas piring buah, diatas meja. Biasanya pemilik rumah memakan buahnya tiap hari saat sarapan atau sesudah makan siang, tapi kali ini pemilik rumah buru-buru pergi dan belum kembali hampir 2 hari. Bungkus rokok Marlboro milik pemilik rumah tergeletak di dekat piring tak jauh dari setengah gelas kopi basi yang tak dihabiskan pemilik rumah sebelum pergi lama kali itu.

Apel:

Jeruk, betulkah apa yang kamu katakan tadi malam? Tepat sebelum kita berdua terlelap.

Jeruk:

Menurutmu?

Apel:

Jangan main-main, aku tidak sanggup percaya. Apakah benar yang kamu katakan itu, atau sekedar iseng karena bosan menunggu perjalanan nasib selanjutnya?

Jeruk:

Menurutmu?

Apel:

Jeruk, jangan suka berteka-teki, bermain dengan kata. Aku hanya bertanya, apakah benar yang kamu katakan tadi malam?

Jeruk:

Kalau benar? Lalu kamu bagaimana? Apa yang kamu rasa? Percaya saja.

Apel:

Aku berharap semuanya betul, adanya memang begitu.

Jeruk:

Lalu, percaya saja.

Apel:

Tapi Jeruk, aku adalah Apel, bukan Jeruk. Dalam kamusku tak bisa aku hanya diyakinkan dengan kata.

Jeruk:

Lantas, sebagai seorang Jeruk, apa yang bisa aku lakukan untuk meyakinkanmu? Jangan permasalahkan perbedaan kita, karena itu memang sudah adanya, gunakan hatimu.

Apel:

Bisakah kau katakan sekali lagi?

Jeruk:

Tak cukupkah yang tadi malam itu untuk mewakili?

Apel:

Apa sulitnya mengulangi?

Jeruk:

Bukan soal sulit, haruskah aku ulangi?

Apel:

Buatlah aku bahagia, dengan mengulanginya.

Jeruk:

Tidak bahagiakah kamu sekarang? Aku masih disini, kamu tahu itu.

Apel:

Aku akan lebih bahagia ketika kamu meyakinkanku dengan perbuatan dan kata. Tak cukup kalau tidak dikombinasikan. Katakan dan tunjukkan, kenapa begitu sulit?

Jeruk:

Bukan masalah sulit Apel. Aku tak pandai mengumbar kata. Cukup sekali aku katakan, dengan sepenuh hatiku. Percaya dan rasakan, aku mohon.

Apel:

Mm…

Hening, keduanya terdiam. Setelah beberapa saat berlalu, Jeruk menatap Apel dan mengecup keningnya. Tangan kanannya merangkul Apel dan kepalanya direbahkan kepundak Apel. Mata Jeruk terpejam dan senyum terkulum diwajahnya yang jingga cerah.

Apel:

Bagaimana mungkin sebuah Jeruk sepertimu mencintaiku, sebuah Apel. Kenapa tidak kamu mencintai Jeruk lain?

Jeruk:

Seandainya aku tahu jawabannya mengapa, tentu aku akan jawab pertanyaanmu ini. Mungkin tidak semua pertanyaan memiliki jawaban.

Apel:

Jawab saja, buat aku bahagia.

Jeruk:

Haruskah aku menjawab dengan kata-kata ketika apa yang dirasakan oleh hatiku sama sekali tidak mampu terwakilkan dalam kata? Cinta begitu multidimensi, penuh, dan tak berbentuk atau terbatas. Kalau aku berusaha menjelaskannya padamu, cintaku tak lagi sempurna Apel…maukah kau cinta yang tak sempurna?

Apel:

Mungkin tidak. Aku ingin bahagia Jeruk…Itu saja.

Jeruk:

Aku pun ingin kebahagiaanmu. Pun kebahagiaan kita. Nyatanya dengan tidak mengatakan apapun dan menghayati adamu disisiku sudah begitu membuatku merasa bahagia. Tidakkah kamu rasa?

Apel:

Aku tahu, tapi bagaimana dengan nanti? Ya, saat ini kita bisa bersama. Entah kenapa pemilik rumah pergi begitu lama yang syukurnya memberi kesempatan untuk kita bisa bersama lebih lama. Lalu bagaimana jika Dia kembali, dan akhirnya waktu perpisahan itu tiba juga untuk kita? Memikirkannya saja aku tak sanggup Jeruk…seketika aku jadi begitu sedihnya.

Jeruk:

Bahagialah dengan apa yang kita punya sekarang.

Apel:

Jadi kamu tidak khawatir? Betulkah kau mencintaiku? Ketika begitu mudahnya kamu menghadapi perpisahan itu?

Jeruk:

Kita tak pernah tahu akhir Apelku. Entah kemudian Dia kembali, menggigitmu lebih dulu dihadapanku, mencabik kulit kasarku dan memerasku tanpa ijin padamu, mengupasmu dan memotongmu, jadikan kita berdua salad buah, atau entah Dia mencampur kita berdua dalam jus segar sarapanNya. Entah…atau mungkin ada suratan lain. Mungkin saja Dia tak pernah kembali dan membiarkan kita berdua bersama di atas piring ini sampai habis air sari kita, lalu muncul kerut dan habislah nafas kita untuk bertahan. Tak penting akhirnya bagaimana, yang jadikan hidup ini bermakna adalah apa yang bisa kita miliki sekarang, kebersamaan kita yang nyata ini. Cintaku lepas dari kekhawatiran akan masa depan.

Apel:

Aku begitu cemasnya. Aku takut kehilanganmu, bahkan sering terpikir olehku bagaimana jika Pemilik rumah menempatkan jeruk lain, atau apel lain untuk menggantikanku. Apakah kamu masih akan tetap mencintaiku?

Jeruk:

Begitu banyaknya pertanyaan dikepalamu itu. Itu mengapa aku mencintaimu, sepertinya tak ada jeruk yang begitu unik sepertimu, hahaha…

Apel:

Kenapa mentertawakanku? Jadi kau membandingkanku dengan jeruk-jeruk lain yang sudah sebelumnya kau temui? Jelaskan, mengapa kau mencintaiku?

Jeruk:

Baik, tapi tak perlu kau lepas tanganku begitu, mari mendekatlah, buatku nyaman dengan halus kulitmu itu.

Apel:

Merayu kamu…jelaskan dulu.

Jeruk:

Apel, sepertinya kita kembali lagi ke pertanyaan awalmu tadi. Aku jujur tidak mengerti kenapa. Aku pernah bersama-sama begitu lama dengan sebuah jeruk sejak di pohon. Dia tumbuh di dahan tak jauh dari dahanku. Kami dipetik bersama dan dijual ke penadah yang membawa kami ke pasar. Tak lama, kami dipindah lagi bersama jeruk-jeruk lain ke supermarket besar. Aku tak mengerti mengapa dia selalu bisa bersama aku, dimanapun. Aku paham bahwa kami dekat, kami berbincang dan menghabiskan begitu banyak pengalaman bersama. Sepertinya bukan cinta, aku tak tahu apa, mungkin kedekatan itu mengaburkan rasa yang sebenarnya. Tapi rasanya tak akan pernah sama dengan 2 hari terakhir ini bersamamu. Aku merasa kamu sudah ada begitu lama di hidupku, senyummu itu seperti tidak asing dan begitu mencerahkan. Rasa yang tak bisa aku jelaskan, tak bisa pula aku rasakan di jeruk itu dan aku alami dimanapun…

Apel:

Lalu…(tersenyum dan kulit merahnya semakin merah karena haru)

Jeruk:

Aku mencintai halus kulit cerahmu yang warnanya berbeda dengan kulitku. Aku mencintaimu dengan sifatmu yang begitu gusar dan tak sabar, juga untuk celoteh nakalmu yang menurutku begitu cerdas. Aku begitu bahagia dan penuh saat kulit ini bersentuhan, saat kamu menciumku dan saat kamu hangatkan 2 malam ini. Bersamamu aku tak menginginkan lagi hal lain, hanya ingin menikmati saja.

Apel:

Tapi aku apel, bukan jeruk…

Jeruk:

Tak perlu kata-kata itu. Lalu mengapa kamu mencintaiku? Bukan mencintai apel lain? Tidakkah kamu berpikir bahwa akupun bisa memiliki semua kekhawatiran yang sama denganmu?

Apel:

Kamu tidak perlu gusar. Sepertinya sejak awal lebih banyak aku yang mengatakan aku mencintaimu. Aku mengatakannya lebih banyak daripada kamu… Kamu sadar tidak?

Jeruk:

Hahaha… Kamu tidak menjawab pertanyaanku. Lagipula, kamu menghitung banyaknya kata-kata cinta yang aku ucapkan? Aku bisa saja berbohong padamu hanya untuk membuatmu tak gusar lagi, tapi perlukah aku berbuat seperti itu? Aku tak perlu mengatakannya, cukuplah kamu rasa.

Apel:

Perlu bagiku jerukku yang gagah. Seandainya kamu tahu betapa bahagianya seorang apel ketika kekasihnya mengatakan cinta.

Jeruk:

Aku akan mengatakannya disaat yang tepat.

Apel:

Tepat buat siapa?

Jeruk:

Sebelum mengajukan pertanyaan, jawablah dulu pertanyaanku manis.

Apel:

Darimana aku harus memulai… Aku mencintaimu karena sejak bersamamu aku tak pernah merasa khawatir. Kamu membuat segala sesuatu jadi tenteram. Tidak ada pertanyaan yang tak bisa kau jawab. Aku menemu labuhan gundah dan tanya yang tak pernah berhenti bergemuruh. Sabar sifat dan kerasnya genggaman tanganmu adalah pertentangan yang memaksaku rindu. Kulitmu yang jingga cerah dan kasar itu berlawanan dengan manis dan segarnya isi jiwamu. Cium dan kata cinta yang tak mudah kau berikan membuatku resah lagi rindu. Sikap dan perhatianmu yang dingin tapi sejuk itu begitu menusuk tapi diinginkan.

Jeruk:

Aku tersanjung (mengeratkan genggamannya).

Apel:

Aku mencintaimu…

Jeruk:

Bagaimana dengan apel lain?

Apel:

Kenapa kamu tidak menjawab kata cintaku?

Jeruk:

Jawablah dulu…

Apel:

Hh… Aku pernah mencintai apel lain Jerukku. Kami bertemu di keranjang sebelum kami dijual ke grosiran. Kami ternyata didatangkan dari ladang yang sama. Namun, cintanya tak mampu membuatku penuh serasa ini. Aku pun bertemu apel-apel lain sebelumnya. Tak mungkin rasanya aku membandingkan mereka denganmu. Mereka bukan kamu, itu saja.

Jeruk:

Apabila kamu bertemu apel sepertiku? Akankah kamu berpaling?

Apel:

Tetap saja bukan kamu.

Jeruk:

Baik, apabila ada jeruk yang sepertiku, bagaimana kemudian?

Apel:

Kenyataannya tidak ada.

Jeruk:

Mungkin belum, lalu bagaimana? Kamu akan melupakanku dan bisa begitu saja mencintainya?

Apel:

Hei…kulitmu mengerut, kamu gusar sayang? Tak perlu kamu risau. Seperti katamu tadi, cukup kamu rasa. Adakah kiranya kamu rasa keraguan di kata-kataku?

Jeruk:

Apabila ada apel yang lebih baik, mungkinkah kamu berpaling? Jika dia lebih baik dariku mengapa tidak? Aku ingin yang terbaik untukmu.

Apel:

Pertanyaan menjebak. Kamu yang terbaik untukku. Aku merasa penuh dan itu sudah cukup untukku.

Jeruk:

Kamu tidak pernah tahu.

Apel:

Ada begitu banyak apel, begitu banyak jeruk di dunia ini. Tapi kamulah jeruk yang kupilih, karena kamu adalah kamu. Bukan masalah yang terbaik diantara semua jeruk, tapi kamu adalah yang terbaik untukku.

Bunyi pintu berdebam mengejutkan apel dan jeruk. Pemilik rumah berlari kecil memasuki ruangan rumah yang kecil. Dia memasuki kamar dan keluar dengan tas penuh pakaian. Telpon selular warna ungunya berbunyi nyaring.

Pemilik rumah:

Halo, hai jeng…oke gue dah siap-siapin pakaian untuk seminggu. Ya, gue bakal cepet, ketemu di puncak. Hati-hati juga dear!

Pintu ditutup kembali. Apel dan jeruk saling berpandang dan tersenyum.

Jeruk:

Apel, …

Pintu terbuka kembali. Pemilik rumah berlari tergopoh-gopoh dan mengambil apel dari piring. Apel menangis tak mampu berteriak, tangannya menggapai-gapai jeruk. Jeruk berteriak dan menangis, tak tahu apa mesti diperbuat. Doa saja terucap dari dua buah terpisah akhirnya jarak dan nasib. Pintu kembali berdebam.

***

Janganlah berhenti berharap akan akhir bahagia cerita ini. Cerita cinta seyogyanya berakhir bahagia ketika kita percaya. Masa yang tak tergantikan itu telah memberi makna untuk hidup berdua. Walau jeruk berkata akhir tak lagi penting karena yang tentukan adalah kuasa yang lebih hakiki, keajaiban masih mungkin bila percaya akhir adalah bagian tak boleh dilewatkan dalam perjalanan doa dan asa.

***
Jeruk : Seandainya aku mengatakannya sedari tadi, seandainya aku mampu mengatakannya. Kehampaan adalah pembunuh jiwa yang paling bahaya. Aku serasa tak sanggup bertahan. Melewatkan hari dengan hati pincang buat merana. Kembalikan dia padaku atau akhiri saja penantianku ini, oh yang berkuasa atas hidup insan sepertiku, buah tak berarti yang hanya bisa menyerah… Pasrah…

Lima hari berlalu, hari-hari panjang yang seperti tanpa ujung. Kulit jeruk mengerut, tak segar lagi, warnanya berubah kisut. Badannya terkulai lemas tanpa siraman semangat jiwa.


Pintu terbuka, pemilik rumah berjalan menuju meja. Dengan lelah dia meletakkan tas besar penuh pakaian kotor di lantai, kunci mobil, dan juga tas kulit kecil dibahunya ke atas meja. Dia mencari-cari telpon selularnya di dalam tas.

Pemilik rumah : Yah… gue lupa makan apel yang gue bawa dari rumah kemaren, padahal udah bela-belain dibawa. Udah kisut gini. Jeruk di meja ini juga. Udahlah gue buang ke tempat sampah. Bego banget sih, kenapa kemaren ngga dimasukkin kulkas aja.


Pemilik rumah meletakkan apel yang lemas dan tak lagi cerah diatas piring sambil berjalan menuju dapur. Bersentuhan kulit apel dan jeruk yang sama-sama tak lagi cerah. Tak terperi bahagia merasuk dalam jiwa dan raga sepasang kekasih terpisah jarak. Berpelukan mereka sebagai pengobat rindu yang begitu lama. Bahagia tak lagi terungkap dalam kata. Bahagia adalah titik akhir dari cerita cinta ini.

***