Rabu, 25 Februari 2009

The Paradox of Choice; Why More is Less: Bagaimana untuk menjadi BAHAGIA


Setelah lama saya tidak pernah lagi menulis bahkan membuka blog ini, sepertinya perlu dan ada banyak waktu untuk saya menuliskan tulisan walau tak banyak.

Beberapa waktu belakangan, saya tertarik membaca sebuah buku berjudul The Paradox of Choice; Why more is less karya Barry Schwartz. Pemaparan Schwartz membuat saya tergelitik terutama mengenai pendapatnya mengenai perbandingan terbalik antara semakin banyaknya pilihan yang tersedia untuk manusia dengan semakin kurangnya kebahagiaan manusia karenanya. Tentu saja hal ini membuat saya penasaran. Bukankah seharusnya manusia akan lebih bahagia ataupun puas apabila memiliki lebih banyak pilihan dalam hidupnya?

Penulis memaparkan berbagai alasan yang setelah saya pahami sangat masuk akal. Semakin banyak pilihan menyebabkan manusia semakin bingung menentukan pilihan mana yang terbaik. Proses observasi, menimbang, dan menilai seluruh aspek dari pilihan yang harus dipilah semakin bertambah dan kecenderungan manusia kemudian menjadi sangat kecewa ketika menyadari bahwa hasil pilihannya ternyata bukanlah pilihan terbaik. Itu mengapa kebanyakan orang memilih untuk membeli barang-barang yang memberikan jaminan uang kembali ataupun penukaran barang untuk menghindari kekecewaan yang besar akibat salah memilih sebuah produk.

Tentu saja perihal pilih memilih ini kemudian menjadi lebih sulit dan kompleks ketika manusia berhadapan dengan piihan yang tidak menyediakan garansi uang kembali, seperti pernikahan misalnya. Sepatutnya perkawinan adalah sebuah pilihan seumur hidup dan untuk mengakhiri ataupun menyelesaikannya tentu saja tidak akan semudah melakukan transaksi dagang biasa.

Yang menurut saya menarik dari buku ini adalah bagaimana penulis mengajak saya berkaca dan mengingatkan saya untuk mengurangi keinginan saya untuk menjadi seorang, yang disebutnya, maximizer. Kalau saya ingin lebih bahagia dalam hidup, menurutnya perlu untuk mengubah diri untuk menjadi seorang, satisficer. Seorang yang selalu puas tentu saja memiliki standard tertentu terhadap segala hal, seperti standar dalam memilih pakaian, sekolah, jenis pekerjaan, ataupun pasangan hidup. Namun berbeda dengan seorang maximizer, satisficer akan merasa cukup ketika sudah menemukan yang sesuai dengan standar yang dibuatnya sendiri. Satisficer akan merasa bahagia meskipun ketika menemukan fakta dan berbagai pembuktian bahwa ada pilihan lebih baik di luar sana. Ketidak bahagiaan seorang maximizer menurut penulis adalah karena orang dengan tipe ini menghabiskan terlalu banyak waktu dan energi untuk menentukan pilihan yang terbaik dan mereka adalah orang yang tidak bahagia ketika ternyata mereka mengetahui bahwa pilihan mereka tersebut ternyata bukan pilihan yang terbaik. Seorang maximizer yang sedang mencari baju pilihan tidak akan berhenti di satu gerai meskipun sudah menemukan kualitas barang yang diinginkannya. Tipe orang ini akan terus mencari di gerai lain untuk melihat harga yang lebih kompetitif, bahan yang lebih nyaman, atau mungkin warna yang lebih menarik.

Dia juga menyoroti adanya perbandingan sosial, kompetisi akan status, dan tingginya pengharapan akan sesuatu cenderung membuat manusia sangat berhati-hati dan kemudian cenderung tidak bahagia akan banyaknya pilihan dan kesalahan dalam memilih pilihan yang tepat.

Lalu bagaimana untuk menjadi seorang yang bahagia ditengah semakin banyaknya pilihan yang tersedia saat ini? Sebenarnya ada beberapa poin yang penulis sodorkan, seperti: memilih ketika benar-benar harus memilih, mencoba menjadi orang yang puas dan mengurangi sifat ingin mendapatkan yang maksimal, membuat keputusan-keputusan yang tidak dapat ditarik kembali, mengurangi penyesalan, mengontrol pengharapan, membatasi perbandingan, dan menghargai adanya batas. Diantara semua cara untuk dapat mengatasi kekecewaan dan membuat seseorang lebih bahagia ini, saya sangat tertarik dengan saran penulis untuk melatih sikap bersyukur. Saya sering sekali mendengar saran ini dalam berbagai literatur mengenai motivasi dan saya tidak menyangka bahwa penulis akan memasukkan poin ini dalam pemaparannya.

Sikap bersyukur tidak dapat muncul secara alamiah pada setiap manusia, itu mengapa rasa syukur harus ditumbuhkan dan tentu saja harus dilatih. Semakin sering manusia melatih dirinya untuk bersyukur untuk hal-hal yang dia miliki dan bukan berfokus pada hal-hal yang tidak ia miliki, ia kemudian akan semakin bahagia. Teori ini saat ini sedang saya pelajari dan percaya atau tidak, saya semakin merasa bahagia akan keadaan saya walaupun kalau saya ingin berfokus pada hal-hal yang tidak saya miliki, tentu saja banyak yang bisa saya tulis. Kaitannya dengan beragamnya pilihan dalam hidup, sikap ini boleh jadi dapat dijadikan senjata untuk selalu merasa cukup, menghargai sebuah pilihan, dan merasa bersyukur untuk pilihan yang sudah dipilih.

dan bagaimana memilih CALEG dan CAPRES yang tepat? Sebelum benar-benar menyelesaikan tulisan jahil ini, saya sempat berpikir, kira-kira bagaimana masyarakat kita mampu memilih perwakilan-perwakilan yang tepat untuk duduk di legislatif atau menjadi Presiden dan Wakil Presiden di tengah banyaknya pilihan yang tersedia saat ini? Kalau pun misalnya sudah terpilih, dan kalau misalnya, misalnya saja pilihannya ternyata salah, bagaimana caranya masyarakat untuk tetap merasa bahagia?

Untuk memasuki ranah ini sepertinya saya merasa tidak mampu dan mungkin terlalu bodoh untuk menguraikannya dalam paparan ilmiah. Yang jelas sampai saat ini saya belum menentukan pilihan saya dan agak sedikit bingung dan takut kalau-kalau salah pilih karena ini adalah masalah besar untuk banyak orang. Kan satu suara besar artinya? Semoga sampai waktu yang ditentukan, saya dan juga semua masyarakat Indonesia mampu membuat sebuah pilihan yang bijak dan kemudian menjadi bahagia akan pilihannya masing-masing.

Buat teman-teman yang kebetulan sedang lewat dan membaca tulisan jahil saya ini mungkin mau member I komentar atau mungkin berbagi pengalaman? Kalau soal bukunya, saya rekomendasikan buku ini karena informatif dan cukup menggambarkan kondisi kita sekarang ini.

Depok, Februari 2009.